Senin, 18 Mei 2009

EFEK EMOSI NEGATIF BOM ATOM HIROSHIMA-NAGASAKI:

Ilustrasi
Jepang merupakan model negara yang sukses dalam perkonomian. Di bawah pengaruh Jepang, negara-negara di belahan Asia Timur telah menjadi area perkonomian yang dinamis. Perdagangan Amerika pun lebih banyak mengalir ke Barat menyeberang pasifik daripada ke timur menyeberang Atlantik. Jepang tidak saja maju dalam bidang teknologi dan industri, namun disertai oleh kemampuannya dalam mengembangkan lembaga perekonomian yang stabil dan strategi pemasaran yang handal. Hal ini menjadikan negara Jepang sebagai kompetitor utama dari negara adikuasa, Amerika Serikat (
http://elektroonline).

Sebelum perang dunia II, Jepang adalah negara agraris dan kepulauan yang menggantungkan diri pada pertanian dan hasil lautnya. Setelah perang dunia II usai, yang ditandai dengan meledaknya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang beralih menjadi negara industrial yang mengantarkannya sebagai salah satu negara yang menguasai perekonomian dunia (http://elektroonline).

Pada dasarnya, bangsa Jepang adalah bangsa pekerja keras dan memiliki kekuatan militer yang fanatik pada negaranya. Pada perang dunia II, timbul spekulasi bahwa Jepang tidak akan berhenti melakukan invasi dan tidak akan menyerah bila tidak menang. Saat bom atom pertama jatuh di Hiroshima pada tanggal 06 September 1945, Jepang tetap bersikeras untuk melakukan perlawanan. Sikap ’keras kepala’ pimpinan militer Jepang inilah yang mendorong pihak sekutu menjatuhkan bom atom kedua di Nagasaki pada tanggal 09 September 1945 (
http://kompasonline).



Awalnya, tidak ada yang akan mengira bahwa Jepang akan segera bangkit dari keterpurukannya setelah ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang memang mengalami kesedihan yang mendalam akibat kekalahan dalam perang, bahkan sampai sekarang, terutama dari akibat yang sangat buruk dari bom atom. Namun demikian, bom atom yang meluluhlantakkan Jepang, tidak menjadikannya seperti orang lumpuh yang tidak dapat berbuat apa-apa. Luka, kesedihan dan kemarahan akibat bom atom malah semakin membuat bangsa Jepang bersemangat untuk berubah. Selain faktor pekerja keras, dominasi faktor emosi bangsa Jepang pada saat itu yang kemudian membakar semangat bangsa Jepang untuk bangkit dari keterpurukan.


Menurut Antonides (1991), aspek emosi sangat berhubungan erat dengan motivasi, sehingga berawal dari emosi dapat menimbulkan aksi. Terdapat empat karakteristik yang membedakan emosi, yaitu: (1) emosi positif dan emosi negatif, (2) emosi dasar atau emosi campuran, (3) opposite poles dan (4) intensitas (Plutchik dalam Antonides, 1991). Menurut Plutchick (Antonides, 1991), emosi dapat berupa emosi positif (misal: senang, cinta) maupun negatif (misal: sedih dan marah). Intensitasnya tergantung pada besar kecilnya peristiwa atau stimulus. Emosi juga dapat berupa emosi yang bersifat dasar seperti sedih, marah, senang, takut dan antisipasi. Gabungan dari beberapa emosi dasar menimbulkan emosi yang bersifat campuran seperti agresif, optimis, cinta dan lain sebagainya.

Pada beberapa kondisi, peristiwa yang menimbulkan emosi negatif, mempunyai efek yang lebih kuat dalam menimbulkan arousal, yaitu kondisi yang melibatkan eksitasi, semangat dan rangsangan. Contohnya, rasa ketakutan yang sangat besar ketika dikejar anjing, memicu adrenalin dan mempengaruhi kemampuan lari seseorang menjadi lebih cepat, bahkan dapat melompati pagar yang tinggi. Lebih lanjut, Antonides (1991) memberikan contoh, emosi negatif seperti benci dapat merupakan sumber motivasi yang kuat untuk memunculkan perilaku membalas dendam. Kondisi seperti inilah yang terjadi pada bangsa Jepang. Pengalaman emosional bangsa Jepang pada peristiwa bom atom Hiroshima-Nagasaki menjadi tujuan dari perilaku dan aksi perubahan yang kemudian timbul.

Diasumsikan, emosi dasar yang muncul pada peristiwa Hiroshima-Nagasaki adalah emosi yang bersifat negatif seperti rasa sedih, marah, dan muak namun tetap antisipatif. Sikap untuk bangkit yang muncul dari bangsa Jepang berasal dari gabungan emosi-emosi dasar tersebut. Ambisi Jepang untuk kembali menjadi negara yang diakui eksistensinya merupakan sikap agresif yang terbentuk dari gabungan emosi marah dan juga antisipatif. Sikap antisipatif tersebut nampak pada perdana menteri Jepang waktu itu, Hirojito. Ia tidak menanyakan kekayaan negara yang tersisa, tentara yang masih hidup dan rakyat yang meninggal, melainkan: “Berapa guru yang masih tersisa?”. Hal ini yang kemudian mendasari Restorasi Meiji sehingga Jepang kemudian menghasilkan generasi yang memiliki pendidikan tinggi, keterampilan dan keahlian yang juga tinggi.


Gabungan emosi dasar yang lain, yaitu sedih dan muak yang muncul pada saat itu, menimbulkan perasaan hina dan malu. Sebagai negara yang memiliki filosofi kesatriaan Samurai, kekalahan merupakan penghinaan dan kemaluan yang sangat besar. Keinginan untuk membayar kekalahan merupakan sumber motivasi. Jepang tidak lagi mengarahkan diri untuk menguasai dunia dengan menginvasi melalui kemampuan militernya (selain disebabkan pembatasan militerisasi oleh Amerika sebagai bentuk kekalahan Jepang pada Perang Dunia II), melainkan menguasai dunia dengan melakukan ’invasi’ ekonomi modern.

Referensi:
­
Antonides, G. 1991. Psychology in Economic and Business: An Introduction in Economic Psychology. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.

Jumat, 15 Mei 2009

Karyawan Vs Teknologi Komunikasi

Beberapa hari yang lalu saya mendapat telepon dari seorang teman, kami mengobrol banyak tentang banyak hal sehingga tidak terasa hampir satu jam dan telinga mulai memanas. Dari nomor telepon yang digunakan, penulis tahu kalau teman menggunakan telepon lokal. Dengan menyingkirkan perasaan tidak enak, saya bertanya apakah teman tidak akan keberatan membayar biaya telepon yang pasti membengkak. Teman dengan santai menjawab, ” ini telepon kantor kok..” Beberapa kali dalam seminggu, saya juga membuat janji chatting dengan sejumlah teman pada saat jam kantor. Tentu saja, teman-teman yang berstatus karyawan menggunakan media internet yang ada di kantornya untuk berkomunikasi. Saking asyiknya, terkadang kami menghabiskan beberapa jam hanya untuk ’ngobrol’ ngalor-ngidul.
Teknologi komunikasi di tempat kerja ternyata tidak saja mempermudah pekerjaan kantor, tapi juga mempermudah komunikasi pribadi yang sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini menjadi sangat menarik untuk dibahas. Pada era globalisasi, penerapan teknologi menjadi suatu kebutuhan dan seringkali menjadi indikator kemajuan suatu perusahaan. Ironisnya, penerapan teknologi yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efektivitas kerja, ternyata menimbulkan pula social loafing dan hambatan dalam kerja. Peningkatan pembelanjaan, pelatihan, biaya-biaya manajemen yang terkait dengan teknologi komunikasi, ternyata juga diikuti oleh perilaku pemanfaatan teknologi yang tidak pada tempatnya. Semakin banyak organisasi menyalurkan uang ke arah teknologi komunikasi maka semakin besar pengeluaran yang terjadi.
Dalam kajiannya tentang penggunaan teknologi komunikasi di tempat kerja, Eastin, Glynn & Griffith (2007) menyatakan bahwa pada kenyataannya, pemanfaatan pribadi teknologi komunikasi (antara lain: internet) tidak hanya sekedar untuk melakukan komunikasi pribadi (seperti mengirim email pribadi, chatting), namun juga hal-hal lainnya (seperti bermain game, surfing) bahkan perilaku yang mengarah pada cybercrime. Sebagai contoh, sangat mungkin terjadi karyawan mencuri identitas dari karyawan lain atau kostumer untuk kepentingan tertentu, atau mengancam dan mengganggu orang lain dengan memanfaatkan teknologi, atau sebagai ... maka karyawan bisa saja dengan tidak hati-hati membuka attachment yang berisi suatu virus atau worm yang dapat menutup jaringan komunikasi perusahaan.
Ada beberapa kondisi psikologis yang dapat menjelaskan timbulnya pemanfaatan pribadi di tempat kerja. Eastin dkk. (2007) melihat ada kaitan antara kebosanan, stres, kebiasaan, self-reactive dan self-regulation sebagai faktor yang dapat menyebabkan pemakaian teknologi komunikasi secara tidak tepat. Tingkat kebosanan yang tinggi, antara lain disebabkan oleh beban kerja yang kurang secara kuantitatif, dan diikuti oleh pengaturan diri yang tidak memadai dapat meningkatkan reaksi diri untuk melakukan internet seperti chatting, bermain game ataupun surfing. Sementara pengaturan diri yang tak mencukupi sangat signifikan berhubungan dengan pembentukan kebiasaan dalam penggunaan teknologi komunikasi untuk kepentingan pribadi.
Satu hal lain yang menarik dari kajian Eastin dkk. (2007) adalah pemakaian internet di tempat kerja bukan ditujukan untuk mengurangi stres kerja melainkan lebih bertujuan untuk mengatasi kebosanan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya internet merupakan kegiatan yang menstimulasi mental sehingga cenderung menjadi medium penyebab stres dan bukannya menimbulkan perasaan santai. Pemahaman yang mendalam mengenai kondisi psikologis para pemakai teknologi komunikasi di tempat kerja, diharapkan dapat mengurangi penggunaan teknologi komunikasi yang tidak sesuai selama waktu kerja.

Referensi:Eastin, M.S.,Glynn, C.J., Grifftihs, R.P. 2007. Psychology of Communication Technology Use in the Workplace. Cyber Psychology & Behavior. Vol.10, 3, p. 436-443